Friday, June 19, 2020

RIP RUANG EMPATI


Ada satu tulisan media online yang hampir saja membatalkan pahala puasa saya.  Hampir saya hendak mengumpat sejadi-jadinya.  Judulnya begini, “Miris!65 persen orang di Dunia sudah kehilangan empati.”  Apakah sudah separah itu perilaku kita? 

Saya langsung ingat satu kejadian yang pernah saya alami.  Ada orang beli es kelamud (kelapa muda) tanpa mau turun dari mobilnya, di jalan yang sangat crowded.  Tentu saja, kemacetan di jalan itu tak dapat dihindari.  Mulanya saya pikir ada kecelakaan yang terjadi.  Tapi ternyata kemacetan itu karena ulah pengendara mobil warna hitam keluaran terbaru yang sedang membeli es kelamud.  Tampak sang Bapak di posisi kemudi sedang menikmati segarnya es kelamud, sementara sang istri sedang menyelesaikan pembayaran dengan bapak penjual es kelamud itu.

Terus terang saya cukup heran dan takjub dengan kejadian itu.  Mungkin karena di kota-kota domisili saya sebelumnya belum pernah menjumpai kejadian serupa.  Kepo pun tidak bisa saya hindari, saya dan istri saya yang kebetulan juga melihat kejadian itu jadi menerka-nerka, kira-kira apa ya alasan mereka tidak mau parkir dulu?  Bukankah itu hal yang simple.  “Itu kan menurutmu Pa, menurut dia mungkin tidak sesimple itu lho”, celetuk istri saya.  “Hmm, bener juga “, kataku.

Obrolan ringan antara saya dan istri saya mendadak menjadi berbobot.  Setidaknya sepanjang perjalanan pulang dari TKP (Tempat Kejadian Perkara) es kelamud.  Menurut kami setidaknya ada tiga kemungkinan, yang membuat mereka melakukan itu.

Kemungkinan pertama menurut kami adalah motif ekonomi.  Dia tidak mau kehilangan uang dua ribu untuk bayar parkir.  Dan menurut saya itu harusnya tidak mungkin, knowing bahwa mobil yang dia tumpangi lebih mewah dari mobil saya.  Tapi kata istri saya, kemungkinan itu tetap ada.  Katanya dia sering menjumpai orang yang perhitungannya sangat njlimet sekali.  “Jangan lihat dua ribunya Pa, kalau dia harus 100 kali parkir dalam seminggu kan sudah lumayan tuh pengeluarannya.”

Alasan kedua kemungkinan karena takut capek, takut ribet alias tidak mau repot.  Setidaknya dia harus berjalan bolak balik dari tempat parkir ke lokasi penjual es kelapa muda dan kembali lagi ke tempat parkir.  Jarak tempuhnya katakanlah sekitar 20 meteran, dengan waktu tempuh tidak lebih dari 5 menit.  Menurut saya sih masih wajar, tapi mungkin itu dianggap akan makan banyak waktu produktif mereka.  Jadi telat arisan misalnya, atau ketinggalan sesi foto selfi dengan teman-temannya di mall atau café yang sedang hits di kota kami.

Yang parah menurut saya, kalau ternyata motifnya adalah eksistensi atau kebanggaan diri ketika dirinya menjadi pusat perhatian publik.  Semakin banyak yang memperhatikan, semakin senang mereka.  Dan bisa jadi ini benar.  Karena ketika kami melewati mobilnya, saya bisa melihat dari kaca mobil mereka yang terbuka, tidak nampak ada rasa bersalah atau panik atau malu dengan kejadian tersebut.  Sepertinya, semakin banyak mata yang melotot ke arahnya dan semakin banyak suara klakson mengiringi, dia semakin hepi.  Mungkin setelah itu mereka akan menutup kaca mobil dan tertawa sepuasnya.  Dan pastinya kepuasan itu akan mereka bagikan kepada teman-teman selfi mereka setelahnya.

Kejadian serupa yang saya alami di atas pasti sering kita jumpai juga dalam keseharian kita.  Saking seringnya, mungkin kita sudah acuh dan membiarkan itu terjadi.  Atau karena kita pun juga melakukan hal yang sama tanpa kita sadari.  Sebut saja misalnya, buang sampah lewat jendela mobil ketika mobil sedang berjalan.  Serobot menyerobot antrian di fasilitas publik atau di kasir supermarket.  Atau seorang ayah yang sangat berpendidikan dan berkedudukan rela mengeluarkan banyak uang untuk manipulasi akte kelahiran dan Kartu Keluarganya, demi anaknya bisa masuk sekolah favorit orang tuanya.  Dia tidak peduli lagi, ada anak lain yang jadi korban gegara tindakannya. 

Dalam sebuah artikel online, disebutkan bahwa manusia adalah makhluk kepentingan yang aktif.  Mereka akan menciptakan budaya untuk menjaga dan mengembangkan kepentingannya.  Demi kepentingannya sendiri orang bisa mengorbankan kepentingan orang lain.

Jadi wajar menurut saya, di tengah pandemi seperti ini, banyak orang yang tidak mau mematuhi himbauan pemerintah sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran covid 19.  Alasannya menurut saya bukan hanya persoalan tahu atau tidak tahu, tapi lebih tepatnya pura-pura tidak tahu.  Karena banyak kepentingan yang akhirnya akan terganggu.  Dan demi kepentingan itu, mereka rela mengabaikan kepentingan yang lebih besar.

Akhirnya saya menyatakan sepakat dengan tulisan di media online yang saya sebut di awal bahwa  65 persen orang di dunia, dan mungkin lebih, sudah kehilangan ruang empatinya.  Dan untuk merubahnya, tentunya bukan pekerjaan mudah, karena kita selamanya tidak akan pernah bisa steril dari yang namanya kepentingan.  Selama dunia pendidikan kita masih fokus pada peningkatan kompetensi teknis saja, maka persoalan ini akan terus kita jumpai sampai kapan pun.

Wawan Dwi Santosa (@wawankondo)
Orang Bantul yang tinggal di Kediri


No comments:

Post a Comment

Darurat, Kita Butuh Doraemon Segera!

Jangan-jangan zaman now adalah perwujudan dari zaman kalabendu yang pernah diramalkan oleh Prabu Jayabaya.   Kalau itu benar, maka tidak l...