Ada satu tulisan media online yang hampir
saja membatalkan pahala puasa saya.
Hampir saya hendak mengumpat sejadi-jadinya. Judulnya begini, “Miris!65 persen orang di
Dunia sudah kehilangan empati.” Apakah
sudah separah itu perilaku kita?
Saya langsung ingat satu kejadian yang
pernah saya alami. Ada orang beli es kelamud (kelapa muda) tanpa mau turun dari mobilnya, di jalan yang
sangat crowded. Tentu saja, kemacetan di jalan itu tak dapat
dihindari. Mulanya saya pikir ada
kecelakaan yang terjadi. Tapi ternyata
kemacetan itu karena ulah pengendara mobil warna hitam keluaran terbaru yang
sedang membeli es kelamud.
Tampak sang Bapak di posisi kemudi sedang menikmati segarnya es kelamud, sementara sang istri sedang menyelesaikan pembayaran dengan bapak
penjual es kelamud itu.
Terus terang saya cukup heran dan takjub
dengan kejadian itu. Mungkin karena di
kota-kota domisili saya sebelumnya belum pernah menjumpai kejadian serupa. Kepo pun tidak bisa saya hindari, saya dan
istri saya yang kebetulan juga melihat kejadian itu jadi menerka-nerka,
kira-kira apa ya alasan mereka tidak mau parkir dulu? Bukankah itu hal yang simple. “Itu kan menurutmu Pa, menurut dia mungkin
tidak sesimple itu lho”, celetuk istri saya.
“Hmm, bener juga “, kataku.
Obrolan ringan antara saya dan istri saya
mendadak menjadi berbobot. Setidaknya
sepanjang perjalanan pulang dari TKP (Tempat Kejadian Perkara) es kelamud. Menurut kami setidaknya ada
tiga kemungkinan, yang membuat mereka melakukan itu.
Kemungkinan pertama menurut kami adalah
motif ekonomi. Dia tidak mau kehilangan
uang dua ribu untuk bayar parkir. Dan
menurut saya itu harusnya tidak mungkin, knowing
bahwa mobil yang dia tumpangi lebih mewah dari mobil saya. Tapi kata istri saya, kemungkinan itu tetap
ada. Katanya dia sering menjumpai orang
yang perhitungannya sangat njlimet sekali. “Jangan lihat dua ribunya Pa, kalau dia harus
100 kali parkir dalam seminggu kan sudah lumayan tuh pengeluarannya.”
Alasan kedua kemungkinan karena takut
capek, takut ribet alias tidak mau repot.
Setidaknya dia harus berjalan bolak balik dari tempat parkir ke lokasi
penjual es kelapa muda dan kembali lagi ke tempat parkir. Jarak tempuhnya katakanlah sekitar 20
meteran, dengan waktu tempuh tidak lebih dari 5 menit. Menurut saya sih masih wajar, tapi mungkin
itu dianggap akan makan banyak waktu produktif mereka. Jadi telat arisan misalnya, atau ketinggalan
sesi foto selfi dengan teman-temannya di mall atau café yang sedang hits di
kota kami.
Yang parah menurut saya, kalau ternyata motifnya
adalah eksistensi atau kebanggaan diri ketika dirinya menjadi pusat perhatian
publik. Semakin banyak yang
memperhatikan, semakin senang mereka. Dan
bisa jadi ini benar. Karena ketika kami
melewati mobilnya, saya bisa melihat dari kaca mobil mereka yang terbuka, tidak
nampak ada rasa bersalah atau panik atau malu dengan kejadian tersebut. Sepertinya, semakin banyak mata yang melotot
ke arahnya dan semakin banyak suara klakson mengiringi, dia semakin hepi. Mungkin setelah itu mereka akan menutup kaca
mobil dan tertawa sepuasnya. Dan
pastinya kepuasan itu akan mereka bagikan kepada teman-teman selfi mereka
setelahnya.
Kejadian serupa yang saya alami di atas pasti
sering kita jumpai juga dalam keseharian kita.
Saking seringnya, mungkin kita sudah acuh dan membiarkan itu
terjadi. Atau karena kita pun juga
melakukan hal yang sama tanpa kita sadari.
Sebut saja misalnya, buang sampah lewat jendela mobil ketika mobil
sedang berjalan. Serobot menyerobot
antrian di fasilitas publik atau di kasir supermarket. Atau seorang ayah yang sangat berpendidikan
dan berkedudukan rela mengeluarkan banyak uang untuk manipulasi akte kelahiran
dan Kartu Keluarganya, demi anaknya bisa masuk sekolah favorit orang
tuanya. Dia tidak peduli lagi, ada anak lain
yang jadi korban gegara tindakannya.
Dalam sebuah artikel online, disebutkan
bahwa manusia adalah makhluk kepentingan yang aktif. Mereka akan menciptakan budaya untuk menjaga
dan mengembangkan kepentingannya. Demi
kepentingannya sendiri orang bisa mengorbankan kepentingan orang lain.
Jadi wajar menurut saya, di tengah
pandemi seperti ini, banyak orang yang tidak mau mematuhi himbauan pemerintah
sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran covid 19. Alasannya menurut saya bukan hanya persoalan
tahu atau tidak tahu, tapi lebih tepatnya pura-pura tidak tahu. Karena banyak kepentingan yang akhirnya akan
terganggu. Dan demi kepentingan itu,
mereka rela mengabaikan kepentingan yang lebih besar.
Akhirnya saya menyatakan sepakat dengan
tulisan di media online yang saya sebut di awal bahwa 65 persen orang di dunia, dan mungkin lebih,
sudah kehilangan ruang empatinya. Dan
untuk merubahnya, tentunya bukan pekerjaan mudah, karena kita selamanya tidak
akan pernah bisa steril dari yang namanya kepentingan. Selama dunia pendidikan kita masih fokus pada
peningkatan kompetensi teknis saja, maka persoalan ini akan terus kita jumpai
sampai kapan pun.
Wawan Dwi
Santosa (@wawankondo)
Orang Bantul yang tinggal di Kediri
No comments:
Post a Comment