Friday, June 19, 2020

Hidup di Sarang Pembohong


Sudah hampir sebulan kita kehilangan mas Didi Kempot.  Sebagai anak bangsa, saya tak henti-hentinya berterimakasih pada bliau, setidaknya lewat karyanya kita diajari untuk tidak gampang marah ketika dibohongi.  Eh bener lho, untuk survive di zaman now ini kita harus punya jantung yang super kuat.  Tentu tidak perlu sekuat arc reactor –nya Tony Stark ketika menjelma menjadi Iron Man. 
Lha gimana ndak to, setiap hari selalu saja ada berita yang bikin kita jantungen.  Kadang malah sampai bikin kita mrebes mili, nangis sesenggukkan gitu.  Dan makin nyesek lagi pas akhirnya tahu kalau berita itu ternyata berita boong. 
Contohnya kemaren, saya selaku penggemar acara Mamah dan Aa’ merasa dipermainkan sama orang yang memberitakan kalau Mamah Dedeh meninggal.  Untung saja, Kang Abdel dan Ustadz Yusuf Mansur segera mengkonfirmasi berita itu.  Coba kalau tidak, akan banyak ibu-ibu yang bersedih karena merasa kehilangan sosok panutan yang adem dan menentramkan, terus saking sedihnya jadi mager.  Suami dan anaknya yang merasa tidak bersalah pun akhirnya kena imbasnya juga.  Opor basi, cucian menumpuk, tisu berserakan, ngeri deh pokoknya.
Kalau sampai itu terjadi, apa ya orang yang bikin berita bohong itu mau tanggungjawab?  Mbok pikir ngereh-reh istri saya kalau sudah nangis itu gampang, asemik!
Terus terang saya nggak habis pikir sama orang-orang yang suka membuat atau menyebar berita bohong begitu.  Jika alasannya karena ingin mendapatkan kepuasan, menurut saya itu sudah sakit jiwa.  Apa lagi orang-orang yang suka ngeprank jahil methakil begitu, “nggak lucu tauk!”.  Apa mereka nggak takut hidungnya bakal panjang kayak Pinokio?  Atau mereka belum pernah mendengar azab yang akan mereka terima karena kebohongannya itu?  Lalu ceritanya diangkat jadi salah satu judul film religi di televisi, “jenasah penuh bibir” misalnya.
Ini bukan perkara sepele menurut saya.  Saya sepakat sama mbak Annisa Nurul Hasanah yang pernah menulis bahwa kebohongan adalah induk dari kejahatan lainnya.  Dan kebohongan besar selalu berawal dari kebohongan yang sepele awalnya.  Sekali pernah berbohong dan sukses, orang akan terus melakukannya, minimal dia akan menciptakan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Kebohongan menjadi seperti candu.  Mungkin bagi para pelakunya, badan mereka akan pegal-pegal dan kepala cenat-cenut kalau dalam sehari saja mereka belum membuat kebohongan.  Tentu tidak berlebihan jika pemerintah mengeluarkan tagline “kebohongan itu membunuhmu”.
***
Lagi-lagi saya hendak bicara tentang pola asuh anak di negeri kita ini.  Minimal di lingkungan terkecil kita yang bernama keluarga.  Karena sepertinya masalah kebohongan ini sudah begitu melekat dengan keseharian kita.  Seakan-akan itu bukan hal yang tabu lagi untuk dilakukan.
Tentu sudah banyak pakar yang membahas tentang masalah kebohongan ini, mulai dari arti sampai motif melakukan kebohongan.  Satu hal yang saya yakini bahwa kebohongan itu muncul karena rasa takut yang berlebihan dalam diri seseorang.  Tidak selalu hal besar, ketakutan dalam hal remeh temeh pun bisa berpotensi mendorong orang melakukan kebohongan.  Misalnya karena takut anaknya pilek, seorang ayah dan ibu terlibat konspirasi memfitnah penjual es di ujung gang perumahan dengan mengatakan bahwa es yang dipakai adalah air mentah.  Atau kelakukan seorang suami yang merubah nama Tini menjadi Tono di phonebook HPnya karena takut ketahuan selingkuh.
Kebohongan begitu akrabnya dengan kita, bahkan di lingkungan yang harusnya mengajarkan untuk tidak berbohong pun terjadi banyak praktek kebohongan.  Dan anehnya itu dianggap lumrah, siapapun mungkin pernah punya pengalaman yang sama dan akan menjadi bahan obrolan yang gayeng di forum-forum reuni sekolah.  Sebut saja kebiasaan mencontek, titip absen kuliah, titip nama ketika ada tugas kelompok, pura-pura sakit supaya bisa menghindar dari guru killer, rela mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mendapatkan bocoran soal ujian atau membayar orang untuk mengerjakan skripsinya.
Karena sudah membudaya, tradisi berbohong pun terbawa ke dunia kerja.  Misalnya supaya terhindar dari murka atasan yang kejamnya melebihi Fir’aun seorang karyawan dengan lihai memanipulasi laporannya.  Atau demi mendapatkan tambahan keuntungan, seseorang nekat melakukan mark up harga dalam pengadaan kopi dan gula di kantornya.  Pahitnya lagi, kebohongan seperti itu tidak jarang dilakukan secara berjamaah, tanggung renteng katanya.  Jadi jangan heran jika kasus terbongkar, satu jajaran bisa kena sikat semua.
Zaman sekarang lebih gila lagi.  Kalau dulu kebohongan hanya berdampak pada lingkungan terbatas saja seperti keluarga, sekolah, atau kantor.  Sekarang dengan adanya media sosial kebohongan bisa berdampak lebih luas lagi.  Level kepuasan para tukang bohong itu pun meningkat, mereka baru akan puas jika berhasil membohongi publik satu negara, atau bahkan dunia.  Entah itu kepentingannya hanya untuk mencari kepuasan belaka atau mencari pundi-pundi rupiah.  Dan itu banyak peminatnya lho gaes.
Jadi pantes jika zaman ini dijuluki zaman edan.  Lha gimana to, mosok tukang bohong bisa jadi profesi yang prestisius, apa ya nggak edan itu.
***
Kembali ke pola asuh anak.  Harus dengan cara apa kita mendidik anak-anak kita, kalau moralitas dikatakan tidak ada hubungannya dengan pendidikan agama.  Tentu saya tidak hendak berdebat dengan kelompok yang mengatakan itu.  Saya hanya ingin ngangsu kawruh saja, siapa tahu njenengan punya solusi yang lebih dahsyat dari sekadar pendekatan agama.  Karena ketika saya kekeh, saya pasti akan dibenturkan dengan kasus asusila yang melibatkan guru-guru agama. 
Setiap mendengar itu, saya selalu ingat ucapan Dalai Lama bahwa dalam setiap komunitas agama selalu ada pengikut jahat, dan tentu tidak bisa digeneralisir.
Satu hal yang harus kita yakini bahwasanya Allah melarang kita menyebarkan berita bohong (QS 24:11).  Dan jika ada orang fasik yang datang membawa suatu berita, maka Allah memerintahkan kita untuk memeriksanya dengan teliti agar kita tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kita menyesal atas perbuatan kita itu (QS 49:6).
Sekarang pilihannya, kita mau memberantasnya atau mau berdamai saja? Kalau pilihannya berdamai, tentu lirik-lirik lagu mas Didi Kempot harus sering-sering kita dengarkan lagi.  Supaya segala bentuk kebohongan yang kita terima, bisa kita jogeti dan kita senggakki dengan riang gembira.  Eh, tapi bukankah berdamai itu juga wujud dari kebohongan pada diri sendiri yang tidak mampu mengatasi persoalan yang terjadi?

Wawan Dwi Santosa (@wawankondo)
Orang Bantul yang tinggal di Kediri




No comments:

Post a Comment

Darurat, Kita Butuh Doraemon Segera!

Jangan-jangan zaman now adalah perwujudan dari zaman kalabendu yang pernah diramalkan oleh Prabu Jayabaya.   Kalau itu benar, maka tidak l...