Friday, June 19, 2020

Paradoks Pendidikan, Harus Melawan atau Berdamai Saja?

Dunia ini memang aneh dan sarat paradoks.
Contohnya begini. Dalam hasil penelitian Dr Myers di Chicago waktu itu ditemukan fakta bahwa anak-anak kepingin segera menjadi dewasa. Sebaliknya, malah banyak orang dewasa yang bertingkah seperti anak-anak.

Baru-baru ini publik dibuat kesal dengan kelakuan orang-orang yang datang pada momen penutupan McDonalds Sarinah. Demi kenangan mereka abaikan kesehatan. Aturan social distancing ditabrak saja. Yang penting bisa selfi untuk terakhir kali di sana. Kekanak-kanakkan!

“Lebay! Orang berpendidikan kok kayak gitu. Kayak ndak pernah makan bangku sekolahan saja “, celetuk tetangga tiba-tiba.

Betul juga lho. Mereka yang datang ke McDonalds Sarinah itu harusnya orang yang berpendidikan. Secara mereka tinggal di kota sebesar Jakarta. Tapi bagaimana cara kita mengkategorikan orang yang berpendidikan dan yang tidak? Apakah cukup dengan mengetahui mereka sekolah atau tidak? Atau dengan membandingkan setinggi apa level pendidikannya, atau lebih spesifik lagi dimana kuliahnya? S1, S2 atau S3? Dalam negeri atau luar negeri? Begitukah?

***

Saya jadi penasaran, apa itu pendidikan?

Dari sekian banyak teori tentang pendidikan yang saya baca, saya paling cocok dengan pendapat dari Socrates, Prof. Kurshid Ahmad dan Prof. Fazlur Rahman. Kata mereka, pendidikan pada hakikatnya menjadikan manusia good and smart. Jadi tidak cukup pintar secara intelektual, tapi juga harus bermoral baik.


Faktanya, lagi-lagi ada paradoks yang tidak bisa dihindari. Orang yang pendidikannya semakin tinggi seharusnya moralnya pun semakin tinggi pula. Tapi nyatanya tidak demikian. Apa yang dikatakan Socrates masih belum sepenuhnya terjadi.

Pendidikan tinggi tak sepenuhnya bisa menjamin anak didiknya akan selalu bermoral baik.

Ah, saya jadi teringat kasus Reynhard Sinaga, yang konon menghebohkan dunia itu. Dia adalah terpelajar Indonesia yang mengambil S2 sosiologi di Universitas Manchester dan lanjut mengambil gelar PhD di Universitas Leeds. Dia adalah pelaku kasus perkosaan “terbesar” dalam sejarah hukum Inggris katanya.

Kasus Reynhard, jangan-jangan adalah fenomena gunung es. Ada banyak kejahatan yang dilakukan kalangan terpelajar yang tidak tampak di permukaan karena mungkin hanya terjadi di level kecamatan atau desa. Atau kasusnya ditutup karena melibatkan orang yang berpengaruh atau berkuasa.

Mulai dari kejahatan yang sifatnya pencabulan, sampai kejahatan yang merugikan banyak orang seperti korupsi misalnya. Selalu yang jadi pertanyaan adalah, “siapa aktor intelektualnya?” . Ngomong-ngomong tentang aktor intelektual, pastinya mereka sangat berpendidikan. Tapi karena moralnya tidak baik, jadinya salah arah begitu. Istilahnya, pinter keblinger.

***

Masih tentang pendidikan.

Coba kita lihat kasus yang remeh temeh di sekitar kita misalnya. Seorang ibu yang adalah dosen di universitas ternama dengan mudahnya share berita hoax tanpa cek dahulu kebenaran beritanya. Lebih hebat lagi, dia sangat meyakini berita hoax tersebut, gara-gara ada label agama di baliknya. Aduh. Apa ndak malu ya dengan titel master atau doktor yang tersemat di namanya itu. Apakah gelar atau titel hanya sebagai pemanis di undangan pernikahan sebagai prestis saja? Atau hanya untuk mendapat identitas sosial sebagai orang terpelajar ketika namanya disebut dalam kata sambutan?

Lalu, masih perlukah pendidikan formal ini kita lanjutkan? Kalau iya, pendidikan seperti apa yang cocok untuk kita? Harus mulai dari mana kita berbenah? Kurikulum kah, kualitas guru, atau kebijakan pemerintahnya?

Apakah masalah pendidikan hanya sebatas persoalan akses, kualitas dan kesenjangan saja. Seperti yang pernah dikatakan pengamat pendidikan Najeela Shihab di beberapa media. Atau jangan-jangan bukan itu permasalahan yang sebenarnya.

Apa yang salah dengan pendidikan kita? Apakah ini melulu persoalan kesejahteraan guru yang selalu didengungkan? Apakah cukup dengan menentukan bahwa untuk lulus sekolah tidak perlu ujian nasional semuanya akan terselesaikan? Atau apa? Apakah dengan memasukkan teknologi canggih dalam sistem pembelajaran adalah solusi?

Atau kita perlu kembali ke konsep sekolah-sekolah yang berjalan pada jaman kolonial dulu?

Setidaknya, sekolah-sekolah pada jaman itu sudah terbukti mampu melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Kartini, Dewi Sartika, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Hatta, dan seterusnya. Mereka tentu tidak sempat mengenal istilah gaya belajar yang konstruktif, Cooperative learning, active learning, kurikulum berbasis kompetensi, link and match, sistem daring, dan lain-lain. Namun, kontribusi mereka untuk bangsa dan negara ini tidak perlu dipertanyakan lagi.

Saya suka takjub kalau baca cerita-cerita sejarah tentang tokoh-tokoh besar itu. Di jaman yang serba terbatas waktu itu, khususnya dalam bidang pendidikan. Bisa lahir orang-orang hebat yang visioner dengan wawasan yang luas. Lebih heran lagi, ketika tahu mereka bisa menguasai banyak bahasa asing seperti Belanda, Inggris, Cina, Jepang, Jerman dan seterusnya. Padahal setahu saya, waktu itu belum ada aplikasi-aplikasi seperti Ruang Guru, Google Translate, kamus Oxford, dan sebagainya.

Sementara di luar itu, kita juga disuguhi cerita orang-orang yang sukses tanpa harus melewati jenjang pendidikan formal yang ditentukan. Atau kisah orang sukses di bidang yang tidak relate dengan jurusan sekolahnya. Kisah tentang orang-orang ini tentu tidak perlu saya jelaskan di sini, Anda dengan mudah bisa mencarinya di Google.

Problemnya yang saya lihat, sistem pendidikan kita saat ini secara tidak langsung hanya mencetak mental pekerja yang akan bekerja di ujung telunjuk atasan. Dan atasan yang dimaksud, bisa jadi adalah bagian dari orang-orang yang tidak menempuh pendidikan formal itu.

Sekali lagi tidak mudah untuk mengkategorikan mana orang berpendidikan dan tidak jika ukurannya dari kompetensi mereka. Bu Susi Pujiastuti misalnya, akan kita masukkan ke kategori yang mana?

***
Kembali ke kasus penutupan McD Sarinah kemaren, kalau meminjam kata-kata Socrates, mohon maaf mereka tidak bisa kita kategorikan dalam cluster orang yang berpendidikan. Karena ada sisi moralitas yang belum paripurna.

Jangan-jangan kasus itu juga melibatkan manajemen McD Sarinah sendiri. Jangan-jangan merekalah yang berinisiatif membuat acara seromoni penutupan gerai pada malam itu. Kalau itu benar, tentu itu lebih tidak berpendidikan. Dan jika itu benar, pasti bukan karena mereka tidak tahu aturannya. Justru karena tahu aturannya mereka berani melakukan itu. Toh sanksinya hanya denda 10 juta saja, nilai yang sangat sedikit untuk perusahaan sebesar McD.

Jika tindakan itu kita kategorikan tidak berpendidikan, artinya kita butuh pendidikan tinggi juga untuk bisa melakukan tindakan yang tidak berpendidikan. Atau jangan-jangan kita yang komplain ini yang justru tidak berpendidikan.

Ah, sudahlah. Lagi-lagi saya harus ingat-ingat betul petuah guru-guru saya.

“Jangan saling menyalahkan, semua anak Adam adalah saudara”.

Terlebih ini bulan Ramadhan, tidak baik ngrasani orang lain. Apalagi menuduh mereka yang berpendidikan itu tidak berpendidikan. Dasar kekanak-kanakkan.

Wawan Dwi Santosa (@wawankondo)
Orang Bantul yang tinggal di Kediri

No comments:

Post a Comment

Darurat, Kita Butuh Doraemon Segera!

Jangan-jangan zaman now adalah perwujudan dari zaman kalabendu yang pernah diramalkan oleh Prabu Jayabaya.   Kalau itu benar, maka tidak l...