Wednesday, April 22, 2020

Kenangan Proses : Workshop People's Puppet Project 2007



Minggu 3 Juni 2007, Alun- alun utara –yang  gersang, panas, dan berdebu– tiba-tiba  berubah menjadi semarak ketika sejumlah boneka raksasa muncul dari dalam tenda persembunyianya. Tak pelak tepuk tangan, riuh penonton dan jeritan anak kecil yang ketakutan membahana memenuhi sisi timur alun-alun utara setiap ada boneka raksasa baru yang muncul.  

Pemandangan luar biasa tersebut merupakan persembahan dari Yayasan Bagong Kussudiarja bersama Snuff Puppets dan panitia Festival Kesenian Yogyakarta XIX-2007. Selama kurang lebih dua minggu sebuah workshop people’s puppet project diadakan untuk mempersiapkan pertunjukan akbar tersebut. Sebuah pementasan dengan judul “Kreteg” siap meramaikan Road to FKY XIX-2007.

Bagiku crita ini berawal dari sebuah sms singkat mbak Galuh dari Teater Garasi yang menawarkan workshop tersebut. Setelah men-cancel beberapa agenda segera ajakan itu kusangupi.  Carpe diem, jangan pernah melewatkan kesempatan yang tiba-tiba hadir. Senin, 21 Mei 2007 di bangsal Layang-layang Padepokan Bagong Kussudiarja smua crita dimulai. Selama dua minggu aku bakalan ikut dalam proses yang kubayangkan akan sangat menarik. Ada tiga hal yang kukira mampu mewakili perasaanku selama dua minggu berproses.
  1. pada awal-awal workshop aku berteriak YA AMPUN!
  2. saat pertengahan workshop aku berteriak YA TUHAN!
  3. dan saat akhir workshop aku berteriak YA ABIS!

YA AMPUN, itulah yang bisa kurasakan saat pertama kali datang di workshop itu. Nyali sempat ciut ketika ngliat ternyata pesertanya orang-orang yang emang udah lama berkecimpung di dunia kesenian. “Wah aku bisa apa ya?” pekikku. Apalagi saat perkenalan, huh semakin menciutkan nyali. “ Saya …dari Kua etnika”, “saya dari Gila GOnk”, “saya dari Teater Garasi”, “saya dari Sahita” dll. Lalu saya dari mana? ah carpe diem, setidak saya dari keluarga baik-baik.

Lalu tiba saat keempat awak dari SNUFF PUPPET itu mengenalkan diri. Ada Ian Pidd sebagai pimpinan program dan sutradara, Andy Freer sebagai desainer dan pimpinan artistik, James Wilkinson sebagai penata musik dan Daniele Poidomani sebagai manajer teknis. Segera setelah itu workshop pun dimulai dengan fasilitator mas Landung Simatupang yang lebih banyak akan menjadi penerjemah dan konsultan program.

WOW, kesan pertama begitu mengesankan. Meski masih agak canggung dengan seniman-seniman yang ada di sana. Tapi tak lama setelah dua – tiga hari berlalu..ketakutan dan kecanggunganku lenyap. Semua karena kepandaian seorang Ian Pidd dalam memanage banyak perbedaan latar masing-masing peserta menjadi sebuah kebersamaan yang menyenangkan. Selain keterbukaan teman-teman peserta lain untuk menerima setiap perbedaan dan kekurangan. Membuat batas senior dan yunioritas lenyap. Berubah menjadi semangat untuk belajar bersama.

Little Water Become Big Water (=kriwikakan dadi grojogan) peribahasa bahasa inggris itu agaknya sangat tepat untuk menggambarkan apa yang aku dapatkan. Ian Pidd, sang sutradara yang memberi banyak ilmu tentang membangun semangat dan kebersamaan. Bagaimana dia selalu menganggap setiap peserta itu ada, diperlakukan sama, dan selalu dianggap bisa. Positive thinking, mungkin itu pelajaran yang menarik, karena itu pula setiap peserta selalu merasa nyaman berada di workshop. Selain itu Ian juga seorang bapak demokrasi yang berhasil, setiap kebijakan selalu melibatkan semua elemen yang ada dalam workshop. Itu terlihat ketika merumuskan konsep cerita, menentukan tokoh, termasuk dalam menentukan judul yang tepat. Dengan positive thinking-nya dia dengarkan semua ide peserta dengan khusyuk.  Diskusi yang menarik pun terjadi, semua orang memiliki andil dalam proses ini. Hal inilah yang menurutku sangat menarik, Ian dan teman-temannya menciptakan suasana memiliki yang mengagumkan. Semua peserta jadi ngrasa nyaman dan merasa memiliki pertunjukan. Semua orang terlibat dan semua orang bekerja keras untuk mewujudkannya.

Mungkin ini yang disebut the real collaboration (mengutip ucapan mbak galuh). Dimana semua orang terlibat, tidak hanya bermain, tapi juga dalam menciptakan karya. Semua terbuka untuk memberi dan menerima ide –take and give gitulah –, demi terciptanya konsep terbaik.

Team work yang mengesankan. Semua menyadari jika proses ini tak kan berhasil jika masing-masing orang menuruti egonya. Ego (=emang godaan), untung saja tidak ada yang tergoda dengan setan individualis itu. Peserta memang dibagi dalam beberapa tim untuk membuat boneka raksasa. Tetapi dalam pelaksanaannya smua saling membantu. Tidak ada yang bersikukuh untuk tetap stay pada bonekanya sendiri. Mungkin semua tersihir dengan konsep ”bhineka tunggal boneka”, yg berarti meski berbeda-beda tetapi tetap satu boneka.

Etalase ilmu, yang lebih menarik lagi dari workshop ini adalah tersedianya berbagai jajanan ilmu di sana-sini. Dari seorang Ian pidd aku belajar bagaimana mengelola sebuah pertunjukan, dari seorag Andy dan Danielle tentu saja aku belajar masalah teknis dalam pembuatan boneka raksasa. Serta belajar sebuah semangat bahwa setiap mimpi sangat mungkin untuk diwujudkan. Dari mereka pula aku dan teman-teman belajar untuk rajin berolahraga. Selain itu jajanan ilmu banyak tersebar saat waktu-waktu luang, seprti coffe break, saat makan siang, atau saat-saat bekerja bersama mengerjakan boneka. Sebut saja, aku bisa belajar banyak hal dari seorang mbak Cempluk dari Sahita tentang bagaimana kehidupan di komunitasnya, terutama bagaimana proses penciptaan karya di sana. Aku juga belajar banyak dari seorang mbak Very dari teater garasi tentang banyak hal , juga belajar dari seorang johan (sang pendekar tiongkok) untuk jadi seorang pekerja keras dan tidak pernah menyerah dalam bekerja. Dan banyak ilmu-ilmu lain yang berterbaran di sana. Mulai dari ilmu keaktoran, musik (dengan teman-teman kua etnika), sampai pada ilmu-ilmu lain, dan tentunya pelajaran bahasa inggris yang cepat dan efektif.

YA TUHAN, begitulah yang kurasakan pada hari-hari menjelang pementasan. Kebersamaan itu semakin terasa, semangat dan kerja keras semakin membakar gairah peserta workshop. Boneka semakin menemukan bentuk kasarnya. Sampai beberapa hari sebelum pementasan belum satupun boneka yang benar-benar jadi. Semua bekerja keras untuk mengejar target yang tak kunjung tercapai. Bahkan tak jarang peserta lembur untuk menyelesaikan bonekanya. Dampak positifnya tentu saja boneka semakin menemukan bentuk akhir. Tapi dampak negatifnya cukup fatal, virus influenza mulai menghinggapi para peserta. Termasuk beberapa teman snuff puppet juga kondisi kesehatannya mulai menurun.

Tetapi aku terperanjat melihat semangat teman-teman untuk melanjutkan proses ini sampai final. Sakit di badan ternyata tak mempengaruhi semangat dalam berproses. Hal itu sangat terlihat saat GR (gladi Resik) 2 juni 2007.  Alun-alun utara menjelma laksana gurun sahara yang siap membakar kami. Belum lagi ketika kami harus masuk ke dalam boneka, wuah sauna gratis. Keringat mengucur seperti mata air, nafas terbelenggu oleh kain yang menyelimuti boneka, belum bau cat yang menyengat. Smua bersatu bersama badan yang sedang tak sehat, wah kayak pembantaian di tengah padang alun-alun utara.

Tiga kali kami harus latihan menggunakan boneka. Pertama emang sangat menyiksa (=seperti tersebut di atas). Bahkan ada teman-teman, terutama punakawan, yang mau pingsan. Namun sekali lagi semangat mengalahkan semuanya. Seolah tercipta satu kata mutiara baru: ”dengan semangat, tubuh menjadi kuat”. Begitulah akhirnya kami bisa juga menaklukkan boneka-boneka raksasa itu. Dan sebuah ungkapan manis pun keluar dari Desi, dia mengatakan kalo: ”di dalam tubuh yang berat, terdapat jiwa yang sehat”.

YA ABISS, minggu 3 Juni 2007 akhirnya datang juga. Semangat ingin menunjukkan yang terbaik untuk sebuah proses sedah di depan mata. Tapi di balik itu, ada kekecewaan dan kesedihan melandaku (mungkin juga teman-teman yang lain). Proses dengan dinamika yang sangat unik itu akan selesai beberapa jam lagi. Beberapa saat setelah boneka-beneka itu menghibur warga jogja yang sore itu berkumpul di alun-alun utara. Belum cukup kiranya aku mengambil jajanan ilmu yang bertebaran. Selain rasa enggan kehilangan proses yang erat dengan nuansa canda dan kebersamaan itu. Tapi apa boleh buat, proses itu secara fisik harus terhenti. Namun seperti kata Ian Pidd, ”saya memang berada di Australia, tapi saya akan terus merasa berjalan-jalan di Alun-alun utara”. Aku berharap proses secara non formal akan terus berlanjut. Dan harapan seorang Andy bahwa boneka-boneka itu harus tetap hidup dapat terwujud.


 

sastratetangga @wawankondo

No comments:

Post a Comment

Darurat, Kita Butuh Doraemon Segera!

Jangan-jangan zaman now adalah perwujudan dari zaman kalabendu yang pernah diramalkan oleh Prabu Jayabaya.   Kalau itu benar, maka tidak l...