Sudah hampir sebulan kita kehilangan mas Didi Kempot. Sebagai anak bangsa, saya tak henti-hentinya
berterimakasih pada bliau, setidaknya
lewat karyanya kita diajari untuk tidak gampang marah ketika dibohongi. Eh bener lho, untuk survive di zaman now ini
kita harus punya jantung yang super kuat.
Tentu tidak perlu sekuat arc
reactor –nya Tony Stark ketika menjelma menjadi Iron Man.
Lha gimana ndak to, setiap hari selalu saja ada
berita yang bikin kita jantungen. Kadang malah sampai bikin kita mrebes mili, nangis sesenggukkan gitu. Dan makin nyesek
lagi pas akhirnya tahu kalau berita itu ternyata berita boong.
Contohnya kemaren, saya selaku penggemar acara Mamah dan Aa’ merasa
dipermainkan sama orang yang memberitakan kalau Mamah Dedeh meninggal. Untung saja, Kang Abdel dan Ustadz Yusuf
Mansur segera mengkonfirmasi berita itu.
Coba kalau tidak, akan banyak ibu-ibu yang bersedih karena merasa kehilangan
sosok panutan yang adem dan menentramkan, terus saking sedihnya jadi mager. Suami dan anaknya yang merasa tidak bersalah
pun akhirnya kena imbasnya juga. Opor
basi, cucian menumpuk, tisu berserakan, ngeri deh pokoknya.
Kalau sampai itu terjadi, apa ya orang yang bikin berita bohong itu mau
tanggungjawab? Mbok pikir ngereh-reh
istri saya kalau sudah nangis itu gampang, asemik!
Terus terang saya nggak habis pikir sama orang-orang yang suka membuat
atau menyebar berita bohong begitu. Jika
alasannya karena ingin mendapatkan kepuasan, menurut saya itu sudah sakit
jiwa. Apa lagi orang-orang yang suka ngeprank jahil methakil begitu, “nggak lucu tauk!”. Apa mereka nggak takut hidungnya bakal
panjang kayak Pinokio? Atau mereka belum
pernah mendengar azab yang akan mereka terima karena kebohongannya itu? Lalu ceritanya diangkat jadi salah satu judul
film religi di televisi, “jenasah penuh bibir” misalnya.
Ini bukan perkara sepele menurut saya.
Saya sepakat sama mbak Annisa Nurul Hasanah yang pernah menulis bahwa
kebohongan adalah induk dari kejahatan lainnya.
Dan kebohongan besar selalu berawal dari kebohongan yang sepele
awalnya. Sekali pernah berbohong dan
sukses, orang akan terus melakukannya, minimal dia akan menciptakan kebohongan
baru untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Kebohongan menjadi seperti candu.
Mungkin bagi para pelakunya, badan mereka akan pegal-pegal dan kepala cenat-cenut kalau dalam sehari saja mereka
belum membuat kebohongan. Tentu tidak
berlebihan jika pemerintah mengeluarkan tagline “kebohongan itu membunuhmu”.
***
Lagi-lagi saya hendak bicara tentang pola asuh anak di negeri kita
ini. Minimal di lingkungan terkecil kita
yang bernama keluarga. Karena sepertinya
masalah kebohongan ini sudah begitu melekat dengan keseharian kita. Seakan-akan itu bukan hal yang tabu lagi
untuk dilakukan.
Tentu sudah banyak pakar yang membahas tentang masalah kebohongan ini,
mulai dari arti sampai motif melakukan kebohongan. Satu hal yang saya yakini bahwa kebohongan
itu muncul karena rasa takut yang berlebihan dalam diri seseorang. Tidak selalu hal besar, ketakutan dalam hal
remeh temeh pun bisa berpotensi mendorong orang melakukan kebohongan. Misalnya karena takut anaknya pilek, seorang
ayah dan ibu terlibat konspirasi memfitnah penjual es di ujung gang perumahan
dengan mengatakan bahwa es yang dipakai adalah air mentah. Atau kelakukan seorang suami yang merubah
nama Tini menjadi Tono di phonebook
HPnya karena takut ketahuan selingkuh.
Kebohongan begitu akrabnya dengan kita, bahkan di lingkungan yang
harusnya mengajarkan untuk tidak berbohong pun terjadi banyak praktek
kebohongan. Dan anehnya itu dianggap lumrah, siapapun mungkin pernah punya
pengalaman yang sama dan akan menjadi bahan obrolan yang gayeng di forum-forum reuni sekolah. Sebut saja kebiasaan mencontek, titip absen
kuliah, titip nama ketika ada tugas kelompok, pura-pura sakit supaya bisa
menghindar dari guru killer, rela
mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mendapatkan bocoran soal ujian atau
membayar orang untuk mengerjakan skripsinya.
Karena sudah membudaya, tradisi berbohong pun terbawa ke dunia
kerja. Misalnya supaya terhindar dari
murka atasan yang kejamnya melebihi Fir’aun seorang karyawan dengan lihai memanipulasi
laporannya. Atau demi mendapatkan
tambahan keuntungan, seseorang nekat melakukan mark up harga dalam pengadaan kopi dan gula di kantornya. Pahitnya lagi, kebohongan seperti itu tidak
jarang dilakukan secara berjamaah, tanggung
renteng katanya. Jadi jangan heran
jika kasus terbongkar, satu jajaran bisa kena sikat semua.
Zaman sekarang lebih gila lagi.
Kalau dulu kebohongan hanya berdampak pada lingkungan terbatas saja
seperti keluarga, sekolah, atau kantor.
Sekarang dengan adanya media sosial kebohongan bisa berdampak lebih luas
lagi. Level kepuasan para tukang bohong
itu pun meningkat, mereka baru akan puas jika berhasil membohongi publik satu
negara, atau bahkan dunia. Entah itu
kepentingannya hanya untuk mencari kepuasan belaka atau mencari pundi-pundi
rupiah. Dan itu banyak peminatnya lho gaes.
Jadi pantes jika zaman ini dijuluki zaman edan. Lha gimana to, mosok tukang
bohong bisa jadi profesi yang prestisius, apa ya nggak edan itu.
***
Kembali ke pola asuh anak. Harus
dengan cara apa kita mendidik anak-anak kita, kalau moralitas dikatakan tidak
ada hubungannya dengan pendidikan agama.
Tentu saya tidak hendak berdebat dengan kelompok yang mengatakan itu. Saya hanya ingin ngangsu kawruh saja, siapa tahu njenengan
punya solusi yang lebih dahsyat dari sekadar pendekatan agama. Karena ketika saya kekeh, saya pasti akan dibenturkan dengan kasus asusila yang
melibatkan guru-guru agama.
Setiap mendengar itu, saya selalu ingat ucapan Dalai Lama bahwa dalam
setiap komunitas agama selalu ada pengikut jahat, dan tentu tidak bisa
digeneralisir.
Satu hal yang harus kita yakini bahwasanya Allah melarang kita
menyebarkan berita bohong (QS 24:11).
Dan jika ada orang fasik yang datang membawa suatu berita, maka Allah
memerintahkan kita untuk memeriksanya dengan teliti agar kita tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kita menyesal atas perbuatan kita itu (QS 49:6).
Sekarang pilihannya, kita mau memberantasnya atau mau berdamai saja?
Kalau pilihannya berdamai, tentu lirik-lirik lagu mas Didi Kempot harus
sering-sering kita dengarkan lagi.
Supaya segala bentuk kebohongan yang kita terima, bisa kita jogeti dan kita senggakki dengan riang gembira.
Eh, tapi bukankah berdamai itu
juga wujud dari kebohongan pada diri sendiri yang tidak mampu mengatasi
persoalan yang terjadi?
Wawan Dwi Santosa (@wawankondo)
Orang Bantul yang
tinggal di Kediri
No comments:
Post a Comment