Friday, June 19, 2020

Darurat, Kita Butuh Doraemon Segera!

Jangan-jangan zaman now adalah perwujudan dari zaman kalabendu yang pernah diramalkan oleh

Prabu Jayabaya.  Kalau itu benar, maka
tidak lama lagi akan muncul seorang Satrio
Piningit, sosok misterius yang diramalkan akan menyelamatkan masa depan
bangsa Indonesia. 

Saya coba nenepi di pinggir selokan di dekat rumah saya untuk mencari siapa
sebenarnya sosok misterius yang akan menyelematkan bangsa Indonesia dari zaman kalabendu tersebut.

“Namanya juga piningit Dul, pastinya nggak ada yang tahulah”, kata teman saya
mengingatkan.

Dan setelah sekian purnama (lebay!), bayangan saya mengerucut pada tokoh-tokoh
yang ada dalam film superhero : Iron Man dan Doraemon. 

“Doraemon kok superhero?” teriak
penggemar Avengers ndak terima, “Gw britau
ya Broh, yang pantas disebut
superhero itu kayak Hulk, Spiderman, Thor, Captain America, dan smua karakter
yang ada di film Avengers itu” lanjutnya dengan berkacak pinggang penuh amarah.

Sabar bro, ndak perlu ngegas dulu, biasakan membaca tulisan
dari awal sampai akhir baru komentar ya. Plis!

Nah begini bro ceritanya, antara Iron
Man dan Doraemon memang tidak serta merta bisa langsung dibandingkan karena
mereka hidup di era yang berbeda.  Tapi
sebenarnya ada persamaannya lho bro. 
Kalau dikatakan Iron Man adalah superhero juga tidak sepenuhnya tepat,
karena sejatinya kekuatan Tony Stark ada pada teknologi baju besinya.  Sama dengan Doraemon, dia tidak punya
kekuatan super tapi dari kantung ajaibnya dia bisa menyelesaikan semua
persoalan tuannya (Nobita), iya kan? Dan ‘ainul yakin kita semua pasti pernah
berkhayal mempunyai alat-alat yang muncul dari kantung ajaib Doraemon, ayo
ngaku!

***

Ngomong-ngomong tentang film
superhero, menurut saya hampir semua ingin menyampaikan pesan yang sama yaitu
bahwa kejahatan akan kalah dengan kebaikan, atau dalam adagium jawa kita
mengenal istilah sura dira jayaningrat
lebur dening pangastuti.  Dulu
awalnya saya sepakat dengan pesan itu, namun setelah melihat banyak kasus di
negara ini, ternyata yang terjadi justru kebalikannya.  Di banyak peristiwa hukum, justru penjahatnya
yang akhirnya tampil sebagai pemenang.  Sementara
yang baik harus pasrah menerima ketidakadilan, misalnya akhirnya dimenangkan
pun lebih karena desakan netizen, bukan kebenaran.

Ini kita baru ngomong persoalan hukum
saja lho bro.  Padahal masih banyak
persoalan bangsa yang tidak kalah pentingnya untuk diselesaikan, dan Iron Man
sudah keok di sini.  Kekuatan arc reactornya tidak bisa bicara banyak
ketika berhadapan dengan orang yang oleh Iqbal Aji Daryono diistilahkan “bukan
sembarangan”.  Mau ngamuk kok takut dicap
sumbu pendek, terus ramai-ramai diperkarakan karena melakukan persekusi kepada
orang yang “bukan sembarangan” itu, ndak
wes.

Harapan sekarang tinggal tertumpu
pada Doraemon.  Robot yang pada saat
diciptakan mempunyai kode produksi MS-903 ini, terkenal karena kantung
ajaibnya.  Konon dalam kantung itu
terdapat 4500 alat yang semuanya ajaib.  Semua
alat itu didedikasikan sepenuhnya untuk membantu keluarga Nobita supaya di masa
depan tidak terlilit hutang.  Nah lho, coba dari dulu kita punya Doraemon,
pasti kita tidak akan terlilit banyak hutang sekarang. 

Tidak hanya itu kehebatan Doraemon,
dengan alat pintu kemana saja, banyak persoalan bangsa yang bisa kita
selesaikan.  Hanya dengan membayangkan
tempat yang ingin dituju, pintu ini akan mengantarkan kita kemana saja.  Bayangkan kalau semua orang di Jakarta
memiliki pintu ini, tentu kemacetan akan sirna seketika.  Kematian yang diakibatkan karena lakalantas
juga bisa kita hentikan. 

Selain itu, persoalan pemerataan
ekonomi juga bisa kita pecahkan dengan mudah. 
Dengan pintu kemana saja Doraemon ini, kita akan mudah dalam mengirimkan
sembako, bahan bakar, dan bahan bangunan ke pulau-pulau yang katanya aksesnya
sulit dan mahal itu.   Sehingga harga
barang-barang tersebut akan sama dengan harga di pulau Jawa.

Lembaga yang juga akan sangat
terbantu dengan pintu kemana saja ini adalah BNPB.  Alat ini akan mempercepat penanganan dan
pengiriman bantuan kemanusiaan ke daerah-daerah yang terjadi bencana.  Bantuan juga bisa diserahkan langsung tanpa
perantara, jadi bisa mengurangi pemotongan-pemotongan di jalan yang isunya
masih kerap terjadi itu. 

Alat lain sangat kita butuhkan saat
ini adalah mesin waktu, yaitu untuk membantu mengungkap fakta-fakta dari kasus
hukum yang terjadi.  Hanya dengan cara
inilah kita bisa melawan orang-orang yang “bukan sembarangan”  itu. 
Termasuk jika ada perdebatan atau salah tafsir dari beberapa persoalan
yang sempat membuat gaduh negara ini bisa kita cegah dengan alat ini.  Misalnya kita minta tolong Doraemon membawa
kita kembali ke masa dimana kasus penyiraman air keras dilakukan.  Wah pasti terang benderang tuh faktanya.  Atau kita bisa minta diantarkan berkunjung ke
beberapa tokoh yang gara-gara ucapannya telah memeriahkan bangsa ini selama
beberapa waktu.  Siapa tahu dengan
silaturahmi antar waktu yang difasilitasi Doraemon tersebut, keutuhan bangsa
ini bisa terus kita pertahankan.

“Pak ntar pas pidato di sono
jangan ngomong-ngomong tentang topik itu ya, plis!” , sambil menunjukkan kliping surat-surat kabar yang beredar
di masa depan.

***

Sementara, saya sudahi saja upaya
pencarian Satrio Piningit itu,
mungkin akan lebih baik jika sosok itu tetap misterius.  Tapi kalau masih penasaran juga, nanti saya
pinjamkan mesin waktunya Doraemon untuk kembali ke massa di mana ramalan itu
lahir, supaya kita tidak salah tafsir dan tidak asal menafsirkan. 

 

Wawan Dwi Santosa (@wawankondo)

Orang Bantul yang
tinggal di Kediri

 

 

Hidup di Sarang Pembohong


Sudah hampir sebulan kita kehilangan mas Didi Kempot.  Sebagai anak bangsa, saya tak henti-hentinya berterimakasih pada bliau, setidaknya lewat karyanya kita diajari untuk tidak gampang marah ketika dibohongi.  Eh bener lho, untuk survive di zaman now ini kita harus punya jantung yang super kuat.  Tentu tidak perlu sekuat arc reactor –nya Tony Stark ketika menjelma menjadi Iron Man. 
Lha gimana ndak to, setiap hari selalu saja ada berita yang bikin kita jantungen.  Kadang malah sampai bikin kita mrebes mili, nangis sesenggukkan gitu.  Dan makin nyesek lagi pas akhirnya tahu kalau berita itu ternyata berita boong. 
Contohnya kemaren, saya selaku penggemar acara Mamah dan Aa’ merasa dipermainkan sama orang yang memberitakan kalau Mamah Dedeh meninggal.  Untung saja, Kang Abdel dan Ustadz Yusuf Mansur segera mengkonfirmasi berita itu.  Coba kalau tidak, akan banyak ibu-ibu yang bersedih karena merasa kehilangan sosok panutan yang adem dan menentramkan, terus saking sedihnya jadi mager.  Suami dan anaknya yang merasa tidak bersalah pun akhirnya kena imbasnya juga.  Opor basi, cucian menumpuk, tisu berserakan, ngeri deh pokoknya.
Kalau sampai itu terjadi, apa ya orang yang bikin berita bohong itu mau tanggungjawab?  Mbok pikir ngereh-reh istri saya kalau sudah nangis itu gampang, asemik!
Terus terang saya nggak habis pikir sama orang-orang yang suka membuat atau menyebar berita bohong begitu.  Jika alasannya karena ingin mendapatkan kepuasan, menurut saya itu sudah sakit jiwa.  Apa lagi orang-orang yang suka ngeprank jahil methakil begitu, “nggak lucu tauk!”.  Apa mereka nggak takut hidungnya bakal panjang kayak Pinokio?  Atau mereka belum pernah mendengar azab yang akan mereka terima karena kebohongannya itu?  Lalu ceritanya diangkat jadi salah satu judul film religi di televisi, “jenasah penuh bibir” misalnya.
Ini bukan perkara sepele menurut saya.  Saya sepakat sama mbak Annisa Nurul Hasanah yang pernah menulis bahwa kebohongan adalah induk dari kejahatan lainnya.  Dan kebohongan besar selalu berawal dari kebohongan yang sepele awalnya.  Sekali pernah berbohong dan sukses, orang akan terus melakukannya, minimal dia akan menciptakan kebohongan baru untuk menutupi kebohongan sebelumnya.
Kebohongan menjadi seperti candu.  Mungkin bagi para pelakunya, badan mereka akan pegal-pegal dan kepala cenat-cenut kalau dalam sehari saja mereka belum membuat kebohongan.  Tentu tidak berlebihan jika pemerintah mengeluarkan tagline “kebohongan itu membunuhmu”.
***
Lagi-lagi saya hendak bicara tentang pola asuh anak di negeri kita ini.  Minimal di lingkungan terkecil kita yang bernama keluarga.  Karena sepertinya masalah kebohongan ini sudah begitu melekat dengan keseharian kita.  Seakan-akan itu bukan hal yang tabu lagi untuk dilakukan.
Tentu sudah banyak pakar yang membahas tentang masalah kebohongan ini, mulai dari arti sampai motif melakukan kebohongan.  Satu hal yang saya yakini bahwa kebohongan itu muncul karena rasa takut yang berlebihan dalam diri seseorang.  Tidak selalu hal besar, ketakutan dalam hal remeh temeh pun bisa berpotensi mendorong orang melakukan kebohongan.  Misalnya karena takut anaknya pilek, seorang ayah dan ibu terlibat konspirasi memfitnah penjual es di ujung gang perumahan dengan mengatakan bahwa es yang dipakai adalah air mentah.  Atau kelakukan seorang suami yang merubah nama Tini menjadi Tono di phonebook HPnya karena takut ketahuan selingkuh.
Kebohongan begitu akrabnya dengan kita, bahkan di lingkungan yang harusnya mengajarkan untuk tidak berbohong pun terjadi banyak praktek kebohongan.  Dan anehnya itu dianggap lumrah, siapapun mungkin pernah punya pengalaman yang sama dan akan menjadi bahan obrolan yang gayeng di forum-forum reuni sekolah.  Sebut saja kebiasaan mencontek, titip absen kuliah, titip nama ketika ada tugas kelompok, pura-pura sakit supaya bisa menghindar dari guru killer, rela mengeluarkan uang jutaan rupiah untuk mendapatkan bocoran soal ujian atau membayar orang untuk mengerjakan skripsinya.
Karena sudah membudaya, tradisi berbohong pun terbawa ke dunia kerja.  Misalnya supaya terhindar dari murka atasan yang kejamnya melebihi Fir’aun seorang karyawan dengan lihai memanipulasi laporannya.  Atau demi mendapatkan tambahan keuntungan, seseorang nekat melakukan mark up harga dalam pengadaan kopi dan gula di kantornya.  Pahitnya lagi, kebohongan seperti itu tidak jarang dilakukan secara berjamaah, tanggung renteng katanya.  Jadi jangan heran jika kasus terbongkar, satu jajaran bisa kena sikat semua.
Zaman sekarang lebih gila lagi.  Kalau dulu kebohongan hanya berdampak pada lingkungan terbatas saja seperti keluarga, sekolah, atau kantor.  Sekarang dengan adanya media sosial kebohongan bisa berdampak lebih luas lagi.  Level kepuasan para tukang bohong itu pun meningkat, mereka baru akan puas jika berhasil membohongi publik satu negara, atau bahkan dunia.  Entah itu kepentingannya hanya untuk mencari kepuasan belaka atau mencari pundi-pundi rupiah.  Dan itu banyak peminatnya lho gaes.
Jadi pantes jika zaman ini dijuluki zaman edan.  Lha gimana to, mosok tukang bohong bisa jadi profesi yang prestisius, apa ya nggak edan itu.
***
Kembali ke pola asuh anak.  Harus dengan cara apa kita mendidik anak-anak kita, kalau moralitas dikatakan tidak ada hubungannya dengan pendidikan agama.  Tentu saya tidak hendak berdebat dengan kelompok yang mengatakan itu.  Saya hanya ingin ngangsu kawruh saja, siapa tahu njenengan punya solusi yang lebih dahsyat dari sekadar pendekatan agama.  Karena ketika saya kekeh, saya pasti akan dibenturkan dengan kasus asusila yang melibatkan guru-guru agama. 
Setiap mendengar itu, saya selalu ingat ucapan Dalai Lama bahwa dalam setiap komunitas agama selalu ada pengikut jahat, dan tentu tidak bisa digeneralisir.
Satu hal yang harus kita yakini bahwasanya Allah melarang kita menyebarkan berita bohong (QS 24:11).  Dan jika ada orang fasik yang datang membawa suatu berita, maka Allah memerintahkan kita untuk memeriksanya dengan teliti agar kita tidak menimpakan suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan kita menyesal atas perbuatan kita itu (QS 49:6).
Sekarang pilihannya, kita mau memberantasnya atau mau berdamai saja? Kalau pilihannya berdamai, tentu lirik-lirik lagu mas Didi Kempot harus sering-sering kita dengarkan lagi.  Supaya segala bentuk kebohongan yang kita terima, bisa kita jogeti dan kita senggakki dengan riang gembira.  Eh, tapi bukankah berdamai itu juga wujud dari kebohongan pada diri sendiri yang tidak mampu mengatasi persoalan yang terjadi?

Wawan Dwi Santosa (@wawankondo)
Orang Bantul yang tinggal di Kediri




Mahasiswa Stres, Bukti Pendidikan Agama Cuma Dianggap Formalitas


Renungan hari ini, untung mbiyen saya ndak sampai stres waktu kuliah. Secara orang tua juga ndak bgitu paham dunia perkuliahan.

"Le, lha biji kok muk 3 po 4 ki piye?" tanya ibu saya polos. " Lha mbiyen bijimu wolu songo wolu songo terus ngono je."

atau pas ngomentari acara wisuda

"Le, lha kancamu ndi wae? kok muk wong limo? " sambil nunjuk temen2 seangkatan saya. " Mbiyen rak kancamu akeh to. Mlebune bareng kok metune ra bareng?"

njuk aku kudu piye jal.. hehehee

Btw cek tulisan saya di IBTimes di bawah ini ya. Renungan buat orang tua pemula kayak saya ini.

Paradoks Pendidikan, Harus Melawan atau Berdamai Saja?

Dunia ini memang aneh dan sarat paradoks.
Contohnya begini. Dalam hasil penelitian Dr Myers di Chicago waktu itu ditemukan fakta bahwa anak-anak kepingin segera menjadi dewasa. Sebaliknya, malah banyak orang dewasa yang bertingkah seperti anak-anak.

Baru-baru ini publik dibuat kesal dengan kelakuan orang-orang yang datang pada momen penutupan McDonalds Sarinah. Demi kenangan mereka abaikan kesehatan. Aturan social distancing ditabrak saja. Yang penting bisa selfi untuk terakhir kali di sana. Kekanak-kanakkan!

“Lebay! Orang berpendidikan kok kayak gitu. Kayak ndak pernah makan bangku sekolahan saja “, celetuk tetangga tiba-tiba.

Betul juga lho. Mereka yang datang ke McDonalds Sarinah itu harusnya orang yang berpendidikan. Secara mereka tinggal di kota sebesar Jakarta. Tapi bagaimana cara kita mengkategorikan orang yang berpendidikan dan yang tidak? Apakah cukup dengan mengetahui mereka sekolah atau tidak? Atau dengan membandingkan setinggi apa level pendidikannya, atau lebih spesifik lagi dimana kuliahnya? S1, S2 atau S3? Dalam negeri atau luar negeri? Begitukah?

***

Saya jadi penasaran, apa itu pendidikan?

Dari sekian banyak teori tentang pendidikan yang saya baca, saya paling cocok dengan pendapat dari Socrates, Prof. Kurshid Ahmad dan Prof. Fazlur Rahman. Kata mereka, pendidikan pada hakikatnya menjadikan manusia good and smart. Jadi tidak cukup pintar secara intelektual, tapi juga harus bermoral baik.


Faktanya, lagi-lagi ada paradoks yang tidak bisa dihindari. Orang yang pendidikannya semakin tinggi seharusnya moralnya pun semakin tinggi pula. Tapi nyatanya tidak demikian. Apa yang dikatakan Socrates masih belum sepenuhnya terjadi.

Pendidikan tinggi tak sepenuhnya bisa menjamin anak didiknya akan selalu bermoral baik.

Ah, saya jadi teringat kasus Reynhard Sinaga, yang konon menghebohkan dunia itu. Dia adalah terpelajar Indonesia yang mengambil S2 sosiologi di Universitas Manchester dan lanjut mengambil gelar PhD di Universitas Leeds. Dia adalah pelaku kasus perkosaan “terbesar” dalam sejarah hukum Inggris katanya.

Kasus Reynhard, jangan-jangan adalah fenomena gunung es. Ada banyak kejahatan yang dilakukan kalangan terpelajar yang tidak tampak di permukaan karena mungkin hanya terjadi di level kecamatan atau desa. Atau kasusnya ditutup karena melibatkan orang yang berpengaruh atau berkuasa.

Mulai dari kejahatan yang sifatnya pencabulan, sampai kejahatan yang merugikan banyak orang seperti korupsi misalnya. Selalu yang jadi pertanyaan adalah, “siapa aktor intelektualnya?” . Ngomong-ngomong tentang aktor intelektual, pastinya mereka sangat berpendidikan. Tapi karena moralnya tidak baik, jadinya salah arah begitu. Istilahnya, pinter keblinger.

***

Masih tentang pendidikan.

Coba kita lihat kasus yang remeh temeh di sekitar kita misalnya. Seorang ibu yang adalah dosen di universitas ternama dengan mudahnya share berita hoax tanpa cek dahulu kebenaran beritanya. Lebih hebat lagi, dia sangat meyakini berita hoax tersebut, gara-gara ada label agama di baliknya. Aduh. Apa ndak malu ya dengan titel master atau doktor yang tersemat di namanya itu. Apakah gelar atau titel hanya sebagai pemanis di undangan pernikahan sebagai prestis saja? Atau hanya untuk mendapat identitas sosial sebagai orang terpelajar ketika namanya disebut dalam kata sambutan?

Lalu, masih perlukah pendidikan formal ini kita lanjutkan? Kalau iya, pendidikan seperti apa yang cocok untuk kita? Harus mulai dari mana kita berbenah? Kurikulum kah, kualitas guru, atau kebijakan pemerintahnya?

Apakah masalah pendidikan hanya sebatas persoalan akses, kualitas dan kesenjangan saja. Seperti yang pernah dikatakan pengamat pendidikan Najeela Shihab di beberapa media. Atau jangan-jangan bukan itu permasalahan yang sebenarnya.

Apa yang salah dengan pendidikan kita? Apakah ini melulu persoalan kesejahteraan guru yang selalu didengungkan? Apakah cukup dengan menentukan bahwa untuk lulus sekolah tidak perlu ujian nasional semuanya akan terselesaikan? Atau apa? Apakah dengan memasukkan teknologi canggih dalam sistem pembelajaran adalah solusi?

Atau kita perlu kembali ke konsep sekolah-sekolah yang berjalan pada jaman kolonial dulu?

Setidaknya, sekolah-sekolah pada jaman itu sudah terbukti mampu melahirkan tokoh-tokoh besar seperti Kartini, Dewi Sartika, Ki Hajar Dewantara, Soekarno, Hatta, dan seterusnya. Mereka tentu tidak sempat mengenal istilah gaya belajar yang konstruktif, Cooperative learning, active learning, kurikulum berbasis kompetensi, link and match, sistem daring, dan lain-lain. Namun, kontribusi mereka untuk bangsa dan negara ini tidak perlu dipertanyakan lagi.

Saya suka takjub kalau baca cerita-cerita sejarah tentang tokoh-tokoh besar itu. Di jaman yang serba terbatas waktu itu, khususnya dalam bidang pendidikan. Bisa lahir orang-orang hebat yang visioner dengan wawasan yang luas. Lebih heran lagi, ketika tahu mereka bisa menguasai banyak bahasa asing seperti Belanda, Inggris, Cina, Jepang, Jerman dan seterusnya. Padahal setahu saya, waktu itu belum ada aplikasi-aplikasi seperti Ruang Guru, Google Translate, kamus Oxford, dan sebagainya.

Sementara di luar itu, kita juga disuguhi cerita orang-orang yang sukses tanpa harus melewati jenjang pendidikan formal yang ditentukan. Atau kisah orang sukses di bidang yang tidak relate dengan jurusan sekolahnya. Kisah tentang orang-orang ini tentu tidak perlu saya jelaskan di sini, Anda dengan mudah bisa mencarinya di Google.

Problemnya yang saya lihat, sistem pendidikan kita saat ini secara tidak langsung hanya mencetak mental pekerja yang akan bekerja di ujung telunjuk atasan. Dan atasan yang dimaksud, bisa jadi adalah bagian dari orang-orang yang tidak menempuh pendidikan formal itu.

Sekali lagi tidak mudah untuk mengkategorikan mana orang berpendidikan dan tidak jika ukurannya dari kompetensi mereka. Bu Susi Pujiastuti misalnya, akan kita masukkan ke kategori yang mana?

***
Kembali ke kasus penutupan McD Sarinah kemaren, kalau meminjam kata-kata Socrates, mohon maaf mereka tidak bisa kita kategorikan dalam cluster orang yang berpendidikan. Karena ada sisi moralitas yang belum paripurna.

Jangan-jangan kasus itu juga melibatkan manajemen McD Sarinah sendiri. Jangan-jangan merekalah yang berinisiatif membuat acara seromoni penutupan gerai pada malam itu. Kalau itu benar, tentu itu lebih tidak berpendidikan. Dan jika itu benar, pasti bukan karena mereka tidak tahu aturannya. Justru karena tahu aturannya mereka berani melakukan itu. Toh sanksinya hanya denda 10 juta saja, nilai yang sangat sedikit untuk perusahaan sebesar McD.

Jika tindakan itu kita kategorikan tidak berpendidikan, artinya kita butuh pendidikan tinggi juga untuk bisa melakukan tindakan yang tidak berpendidikan. Atau jangan-jangan kita yang komplain ini yang justru tidak berpendidikan.

Ah, sudahlah. Lagi-lagi saya harus ingat-ingat betul petuah guru-guru saya.

“Jangan saling menyalahkan, semua anak Adam adalah saudara”.

Terlebih ini bulan Ramadhan, tidak baik ngrasani orang lain. Apalagi menuduh mereka yang berpendidikan itu tidak berpendidikan. Dasar kekanak-kanakkan.

Wawan Dwi Santosa (@wawankondo)
Orang Bantul yang tinggal di Kediri

RIP RUANG EMPATI


Ada satu tulisan media online yang hampir saja membatalkan pahala puasa saya.  Hampir saya hendak mengumpat sejadi-jadinya.  Judulnya begini, “Miris!65 persen orang di Dunia sudah kehilangan empati.”  Apakah sudah separah itu perilaku kita? 

Saya langsung ingat satu kejadian yang pernah saya alami.  Ada orang beli es kelamud (kelapa muda) tanpa mau turun dari mobilnya, di jalan yang sangat crowded.  Tentu saja, kemacetan di jalan itu tak dapat dihindari.  Mulanya saya pikir ada kecelakaan yang terjadi.  Tapi ternyata kemacetan itu karena ulah pengendara mobil warna hitam keluaran terbaru yang sedang membeli es kelamud.  Tampak sang Bapak di posisi kemudi sedang menikmati segarnya es kelamud, sementara sang istri sedang menyelesaikan pembayaran dengan bapak penjual es kelamud itu.

Terus terang saya cukup heran dan takjub dengan kejadian itu.  Mungkin karena di kota-kota domisili saya sebelumnya belum pernah menjumpai kejadian serupa.  Kepo pun tidak bisa saya hindari, saya dan istri saya yang kebetulan juga melihat kejadian itu jadi menerka-nerka, kira-kira apa ya alasan mereka tidak mau parkir dulu?  Bukankah itu hal yang simple.  “Itu kan menurutmu Pa, menurut dia mungkin tidak sesimple itu lho”, celetuk istri saya.  “Hmm, bener juga “, kataku.

Obrolan ringan antara saya dan istri saya mendadak menjadi berbobot.  Setidaknya sepanjang perjalanan pulang dari TKP (Tempat Kejadian Perkara) es kelamud.  Menurut kami setidaknya ada tiga kemungkinan, yang membuat mereka melakukan itu.

Kemungkinan pertama menurut kami adalah motif ekonomi.  Dia tidak mau kehilangan uang dua ribu untuk bayar parkir.  Dan menurut saya itu harusnya tidak mungkin, knowing bahwa mobil yang dia tumpangi lebih mewah dari mobil saya.  Tapi kata istri saya, kemungkinan itu tetap ada.  Katanya dia sering menjumpai orang yang perhitungannya sangat njlimet sekali.  “Jangan lihat dua ribunya Pa, kalau dia harus 100 kali parkir dalam seminggu kan sudah lumayan tuh pengeluarannya.”

Alasan kedua kemungkinan karena takut capek, takut ribet alias tidak mau repot.  Setidaknya dia harus berjalan bolak balik dari tempat parkir ke lokasi penjual es kelapa muda dan kembali lagi ke tempat parkir.  Jarak tempuhnya katakanlah sekitar 20 meteran, dengan waktu tempuh tidak lebih dari 5 menit.  Menurut saya sih masih wajar, tapi mungkin itu dianggap akan makan banyak waktu produktif mereka.  Jadi telat arisan misalnya, atau ketinggalan sesi foto selfi dengan teman-temannya di mall atau cafĂ© yang sedang hits di kota kami.

Yang parah menurut saya, kalau ternyata motifnya adalah eksistensi atau kebanggaan diri ketika dirinya menjadi pusat perhatian publik.  Semakin banyak yang memperhatikan, semakin senang mereka.  Dan bisa jadi ini benar.  Karena ketika kami melewati mobilnya, saya bisa melihat dari kaca mobil mereka yang terbuka, tidak nampak ada rasa bersalah atau panik atau malu dengan kejadian tersebut.  Sepertinya, semakin banyak mata yang melotot ke arahnya dan semakin banyak suara klakson mengiringi, dia semakin hepi.  Mungkin setelah itu mereka akan menutup kaca mobil dan tertawa sepuasnya.  Dan pastinya kepuasan itu akan mereka bagikan kepada teman-teman selfi mereka setelahnya.

Kejadian serupa yang saya alami di atas pasti sering kita jumpai juga dalam keseharian kita.  Saking seringnya, mungkin kita sudah acuh dan membiarkan itu terjadi.  Atau karena kita pun juga melakukan hal yang sama tanpa kita sadari.  Sebut saja misalnya, buang sampah lewat jendela mobil ketika mobil sedang berjalan.  Serobot menyerobot antrian di fasilitas publik atau di kasir supermarket.  Atau seorang ayah yang sangat berpendidikan dan berkedudukan rela mengeluarkan banyak uang untuk manipulasi akte kelahiran dan Kartu Keluarganya, demi anaknya bisa masuk sekolah favorit orang tuanya.  Dia tidak peduli lagi, ada anak lain yang jadi korban gegara tindakannya. 

Dalam sebuah artikel online, disebutkan bahwa manusia adalah makhluk kepentingan yang aktif.  Mereka akan menciptakan budaya untuk menjaga dan mengembangkan kepentingannya.  Demi kepentingannya sendiri orang bisa mengorbankan kepentingan orang lain.

Jadi wajar menurut saya, di tengah pandemi seperti ini, banyak orang yang tidak mau mematuhi himbauan pemerintah sebagai upaya untuk memutus mata rantai penyebaran covid 19.  Alasannya menurut saya bukan hanya persoalan tahu atau tidak tahu, tapi lebih tepatnya pura-pura tidak tahu.  Karena banyak kepentingan yang akhirnya akan terganggu.  Dan demi kepentingan itu, mereka rela mengabaikan kepentingan yang lebih besar.

Akhirnya saya menyatakan sepakat dengan tulisan di media online yang saya sebut di awal bahwa  65 persen orang di dunia, dan mungkin lebih, sudah kehilangan ruang empatinya.  Dan untuk merubahnya, tentunya bukan pekerjaan mudah, karena kita selamanya tidak akan pernah bisa steril dari yang namanya kepentingan.  Selama dunia pendidikan kita masih fokus pada peningkatan kompetensi teknis saja, maka persoalan ini akan terus kita jumpai sampai kapan pun.

Wawan Dwi Santosa (@wawankondo)
Orang Bantul yang tinggal di Kediri


Darurat, Kita Butuh Doraemon Segera!

Jangan-jangan zaman now adalah perwujudan dari zaman kalabendu yang pernah diramalkan oleh Prabu Jayabaya.   Kalau itu benar, maka tidak l...