Minggu 3 Juni 2007, Alun- alun
utara –yang gersang, panas, dan berdebu–
tiba-tiba berubah menjadi semarak ketika
sejumlah boneka raksasa muncul dari dalam tenda persembunyianya. Tak pelak
tepuk tangan, riuh penonton dan jeritan anak kecil yang ketakutan membahana
memenuhi sisi timur alun-alun utara setiap ada boneka raksasa baru yang muncul.
Pemandangan luar biasa tersebut
merupakan persembahan dari Yayasan Bagong Kussudiarja bersama Snuff Puppets dan
panitia Festival Kesenian Yogyakarta XIX-2007. Selama kurang lebih dua minggu
sebuah workshop people’s puppet project diadakan untuk mempersiapkan
pertunjukan akbar tersebut. Sebuah
pementasan dengan judul “Kreteg” siap meramaikan Road to FKY XIX-2007.
Bagiku crita ini berawal dari
sebuah sms singkat mbak Galuh dari Teater Garasi yang menawarkan workshop
tersebut. Setelah men-cancel beberapa agenda segera ajakan itu kusangupi. Carpe
diem, jangan pernah melewatkan kesempatan yang tiba-tiba hadir. Senin, 21
Mei 2007 di bangsal Layang-layang Padepokan Bagong Kussudiarja smua crita
dimulai. Selama dua minggu aku
bakalan ikut dalam proses yang kubayangkan akan sangat menarik. Ada tiga hal
yang kukira mampu mewakili perasaanku selama dua minggu berproses.
- pada awal-awal workshop aku berteriak YA AMPUN!
- saat pertengahan workshop aku berteriak YA TUHAN!
- dan saat akhir workshop aku berteriak YA ABIS!
YA AMPUN, itulah yang bisa kurasakan saat pertama kali datang di workshop
itu. Nyali sempat ciut ketika ngliat ternyata pesertanya orang-orang yang emang
udah lama berkecimpung di dunia kesenian. “Wah aku bisa apa ya?” pekikku.
Apalagi saat perkenalan, huh semakin menciutkan nyali. “ Saya …dari Kua
etnika”, “saya dari Gila GOnk”, “saya dari Teater Garasi”, “saya dari Sahita”
dll. Lalu saya dari mana? ah carpe diem, setidak saya dari keluarga baik-baik.
Lalu tiba saat keempat awak dari SNUFF PUPPET itu mengenalkan diri. Ada Ian Pidd sebagai pimpinan program dan
sutradara, Andy Freer sebagai
desainer dan pimpinan artistik, James Wilkinson
sebagai penata musik dan Daniele
Poidomani sebagai manajer teknis. Segera setelah itu workshop pun dimulai
dengan fasilitator mas Landung Simatupang yang lebih banyak akan menjadi
penerjemah dan konsultan program.
WOW, kesan pertama begitu mengesankan. Meski masih agak canggung dengan seniman-seniman
yang ada di sana. Tapi tak lama setelah dua – tiga hari berlalu..ketakutan dan
kecanggunganku lenyap. Semua karena kepandaian seorang Ian Pidd dalam memanage
banyak perbedaan latar masing-masing peserta menjadi sebuah kebersamaan yang
menyenangkan. Selain keterbukaan teman-teman peserta lain untuk menerima setiap
perbedaan dan kekurangan. Membuat batas senior dan yunioritas lenyap. Berubah
menjadi semangat untuk belajar bersama.
Little Water Become Big
Water (=kriwikakan dadi
grojogan) peribahasa bahasa inggris itu agaknya sangat tepat untuk
menggambarkan apa yang aku dapatkan. Ian Pidd, sang sutradara yang memberi
banyak ilmu tentang membangun semangat dan kebersamaan. Bagaimana dia selalu
menganggap setiap peserta itu ada, diperlakukan sama, dan selalu dianggap bisa.
Positive thinking, mungkin itu
pelajaran yang menarik, karena itu pula setiap peserta selalu merasa nyaman
berada di workshop. Selain itu Ian juga seorang bapak demokrasi yang berhasil,
setiap kebijakan selalu melibatkan semua elemen yang ada dalam workshop. Itu
terlihat ketika merumuskan konsep cerita, menentukan tokoh, termasuk dalam
menentukan judul yang tepat. Dengan positive
thinking-nya dia dengarkan semua ide peserta dengan khusyuk. Diskusi yang menarik pun terjadi, semua orang memiliki andil dalam proses
ini. Hal inilah yang menurutku sangat menarik, Ian dan teman-temannya
menciptakan suasana memiliki yang mengagumkan. Semua peserta jadi ngrasa nyaman
dan merasa memiliki pertunjukan. Semua orang terlibat dan semua orang bekerja
keras untuk mewujudkannya.
Mungkin ini yang disebut the real collaboration (mengutip ucapan
mbak galuh). Dimana semua orang
terlibat, tidak hanya bermain, tapi juga dalam menciptakan karya. Semua terbuka
untuk memberi dan menerima ide –take and
give gitulah –, demi terciptanya konsep terbaik.
Team work yang mengesankan. Semua menyadari jika proses ini tak kan
berhasil jika masing-masing orang menuruti egonya. Ego (=emang godaan), untung
saja tidak ada yang tergoda dengan setan individualis itu. Peserta memang
dibagi dalam beberapa tim untuk membuat boneka raksasa. Tetapi dalam
pelaksanaannya smua saling membantu. Tidak ada yang bersikukuh untuk tetap stay pada bonekanya sendiri. Mungkin
semua tersihir dengan konsep ”bhineka tunggal boneka”, yg berarti meski
berbeda-beda tetapi tetap satu boneka.
Etalase ilmu, yang lebih menarik lagi dari workshop ini adalah tersedianya
berbagai jajanan ilmu di sana-sini. Dari seorang Ian pidd aku belajar bagaimana
mengelola sebuah pertunjukan, dari seorag Andy dan Danielle tentu saja aku
belajar masalah teknis dalam pembuatan boneka raksasa. Serta belajar sebuah
semangat bahwa setiap mimpi sangat mungkin untuk diwujudkan. Dari mereka pula
aku dan teman-teman belajar untuk rajin berolahraga. Selain itu jajanan ilmu banyak
tersebar saat waktu-waktu luang, seprti coffe break, saat makan siang, atau
saat-saat bekerja bersama mengerjakan boneka. Sebut saja, aku bisa belajar
banyak hal dari seorang mbak Cempluk dari Sahita tentang bagaimana kehidupan di
komunitasnya, terutama bagaimana proses penciptaan karya di sana. Aku juga belajar
banyak dari seorang mbak Very dari teater garasi tentang banyak hal , juga
belajar dari seorang johan (sang pendekar tiongkok) untuk jadi seorang pekerja
keras dan tidak pernah menyerah dalam bekerja. Dan banyak ilmu-ilmu lain yang
berterbaran di sana. Mulai dari ilmu keaktoran, musik (dengan teman-teman kua
etnika), sampai pada ilmu-ilmu lain, dan tentunya pelajaran bahasa inggris yang
cepat dan efektif.
YA TUHAN, begitulah yang kurasakan pada hari-hari menjelang pementasan.
Kebersamaan itu semakin terasa, semangat dan kerja keras semakin membakar
gairah peserta workshop. Boneka semakin menemukan bentuk kasarnya. Sampai
beberapa hari sebelum pementasan belum satupun boneka yang benar-benar jadi.
Semua bekerja keras untuk mengejar target yang tak kunjung tercapai. Bahkan tak
jarang peserta lembur untuk menyelesaikan bonekanya. Dampak positifnya tentu
saja boneka semakin menemukan bentuk akhir. Tapi dampak negatifnya cukup fatal,
virus influenza mulai menghinggapi para peserta. Termasuk beberapa teman snuff
puppet juga kondisi kesehatannya mulai menurun.
Tetapi aku terperanjat melihat semangat teman-teman untuk melanjutkan
proses ini sampai final. Sakit
di badan ternyata tak mempengaruhi semangat dalam berproses. Hal itu sangat
terlihat saat GR (gladi Resik) 2 juni 2007. Alun-alun utara menjelma laksana gurun sahara
yang siap membakar kami. Belum lagi ketika kami harus masuk ke dalam boneka,
wuah sauna gratis. Keringat mengucur seperti mata air, nafas terbelenggu oleh
kain yang menyelimuti boneka, belum bau cat yang menyengat. Smua bersatu
bersama badan yang sedang tak sehat, wah kayak pembantaian di tengah padang
alun-alun utara.
Tiga kali kami harus latihan menggunakan boneka. Pertama emang sangat menyiksa (=seperti tersebut
di atas). Bahkan ada teman-teman, terutama punakawan, yang mau pingsan. Namun
sekali lagi semangat mengalahkan semuanya. Seolah tercipta satu kata mutiara
baru: ”dengan semangat, tubuh menjadi kuat”. Begitulah akhirnya kami bisa juga
menaklukkan boneka-boneka raksasa itu. Dan sebuah ungkapan manis pun keluar
dari Desi, dia mengatakan kalo: ”di dalam tubuh yang berat, terdapat jiwa yang
sehat”.
YA ABISS, minggu 3 Juni 2007 akhirnya datang juga. Semangat ingin
menunjukkan yang terbaik untuk sebuah proses sedah di depan mata. Tapi di balik
itu, ada kekecewaan dan kesedihan melandaku (mungkin juga teman-teman yang
lain). Proses dengan dinamika yang sangat unik itu akan selesai beberapa jam
lagi. Beberapa saat setelah boneka-beneka itu menghibur warga jogja yang sore
itu berkumpul di alun-alun utara. Belum cukup kiranya aku mengambil jajanan
ilmu yang bertebaran. Selain rasa enggan kehilangan proses yang erat dengan
nuansa canda dan kebersamaan itu. Tapi apa boleh buat, proses itu secara fisik harus terhenti. Namun seperti
kata Ian Pidd, ”saya memang berada di Australia, tapi saya akan terus merasa
berjalan-jalan di Alun-alun utara”. Aku berharap proses secara non formal akan
terus berlanjut. Dan harapan seorang Andy bahwa boneka-boneka itu harus tetap
hidup dapat terwujud.
sastratetangga @wawankondo
No comments:
Post a Comment